Hujan sore ini cukup deras sehingga membuat
suasana dan suhu di kampungku menjadi lebih sejuk bahkan bisa dikatakan dingin.
Kampungku masih sangat asri, masih banyak pepohoan hijau yang rindang, tak
seperti gambaran kota yang sering kulihat di berita TV, dimana ada banjir,
tumpukan sampah, dan jarang sekali ditemukan pohon. Hujan kali ini turun
disenja hari, membuat kampungku bisu dan hening dari segala aktivitas warga
yang biasanya terjadi. Ku pandang sekelilingku tampak jelas pepohonan sedang
menari-nari setelah menikmati derai hujan, rerumputan bersorak gembira untuk
sisa –sisa hujan, sementra burung-burung hilir mudik untuk kembali kesarangnya
sebab malam akan segera tiba.
Suasana senja ini mengingatkanku pada
seorang yang pernah menjadi bagian terpeting dalam hari-hariku. Masih teringat
jelas saat pertama kali dia datang ke kampungku ini. Dia pernah berkata : “Aku
suka suasana kampungmu, kenapa tak dari dulu kau ajak aku kesini?” Dia begitu
menikmati suasana ramah dari kampungku.
Aku pernah mengajaknya berkeliling kampungku. Dia sangat terkesan dengan
taman yang ada di kampungku. Kebetulan dulu dikampungku segaja dibangun taman
yang sampai sekarang masih dijaga
kebersihannya dan keindahannya. Waktu itu kami sangat menikmati suaana
sekeliling taman kmpung , tepat di sebelah taman kampungku terdapat sungai
kecil yang menjadi tanda perbatasan dengan kampung sebelah. Sore itu hujan juga
turun dengan perlahan menambah indah suasana kampungku.
Di tengah taman dia
berkata padaku, : “ Aku sangat menyayangimu, aku tak tau apa nanti jadinya aku
tanpamu” aku menjawab dengan lembut : “Jangan takut sayang, kamu tak kan pernah
kehilangan aku” seketika itu dia memeluku dengan erat. Suasana itu menjadi lebih indah dengan hujan yang
turun membasahi tubuh kami.
Segera kita berlari untuk berteduh di
gardu pos ronda kampungku. Gardu itu dibangun dari bambu beratap genting yang
masih sangat sederhana. Di gardu itu ia bercerita tentang kesannya terhadap
kampungku yang jauh berbeda dengan kompleks tempat ia tinggal. Hujan telah reda
sedangakan waktu terus bergulir dan memaksa kita untuk segera memacu sepeda menelusuri jalan kampungku. Jalan di
kampungku adalah jalan corblok dari batu
yang dicampur adukan semen, sehingga jalan itu cukup aman dan tak licin jika
dilewati saat musim hujan seperti ini. Kampungku tidak begitu luas namun bisa
dibilang cukup bersih, dan itu membuat kita tak membutuhkan banyak waktu untuk
mengelilinginya.
Entah tindakan bodoh macam apakah ini?
Tanganku meraih sepeda dan kembali mengelilingi kampungku. Sepeda biruku
terhenti lagi di taman kampung, taman itu terliihat beda dengan berambahnya
deretan taman bunga, namun yang lain tetap sama. Bangku taman yang berjajar
seolah membeku dan merengek berharap
medapat selimut. Sungai yang semakin deras debit airnya setelah hujan. Kupaksa
hatiku untuk tak menghiraukannya dan mulai lagi mengayuh sepedaku ku lewati
lagi gardu pos ronda itu, masih sama seperti dulu. Bambu berjajar sebagi alas
duduk, atap genting yang basah dan meneteskan sisa air hujan, sementara lampu
10 watt yang jadi penerang telah memancarkan sinarnya. Jalan kampung yang tetap
seperti dulu, hanya saja perlu diperbaiki.
Oh Tuhan...... bodohkan aku kembali
mengingat semua ini? Mencoba membuka lagi ingatan ini? Suasana kampungku saat
senja sehabis hujan turun mengingatkanku pada seseorang yang hatinya tak lagi
untukku.