thescotyschol

Welcome to my blog :')

Kamis, 13 Desember 2012

Setelah Kita Putus




Hujan sore ini cukup deras sehingga membuat suasana dan suhu di kampungku menjadi lebih sejuk bahkan bisa dikatakan dingin. Kampungku masih sangat asri, masih banyak pepohoan hijau yang rindang, tak seperti gambaran kota yang sering kulihat di berita TV, dimana ada banjir, tumpukan sampah, dan jarang sekali ditemukan pohon. Hujan kali ini turun disenja hari, membuat kampungku bisu dan hening dari segala aktivitas warga yang biasanya terjadi. Ku pandang sekelilingku tampak jelas pepohonan sedang menari-nari setelah menikmati derai hujan, rerumputan bersorak gembira untuk sisa –sisa hujan, sementra burung-burung hilir mudik untuk kembali kesarangnya sebab malam akan segera tiba.
Suasana senja ini mengingatkanku pada seorang yang pernah menjadi bagian terpeting dalam hari-hariku, Kevin. Ya... Kevin, masih teringat jelas saat pertama kali dia datang ke kampungku ini.
“Aku suka suasana kampungmu, kenapa tak dari dulu kau ajak aku kesini?”  
Aku selalu ingat kalimat itu.
“Kamu selalu bisa memberikan susana baru dalam setiap hariku”
“Iya sayang,Love you”

Dia begitu menikmati suasana ramah dari kampungku.  Aku pernah mengajaknya berkeliling kampungku. Dia sangat terkesan dengan taman yang ada di kampungku. Kebetulan dulu dikampungku sengaja dibangun taman yang  sampai sekarang masih dijaga kebersihannya dan keindahannya. Waktu itu kami sangat menikmati suasana sekeliling taman kampung , tepat di sebelah taman kampungku terdapat sungai kecil yang menjadi tanda perbatasan dengan kampung sebelah. Sore itu hujan juga turun dengan perlahan menambah indah suasana kampungku.
 “ Aku sangat menyayangimu, aku tak tau apa nanti jadinya  aku tanpamu”  
 “Jangan takut sayang, kamu tak kan pernah kehilangan aku”
“dingin” desahnya pelan
“Masihkan dingin?” kupeluk tubuhnya lebih erat
“Tak sedingin tadi, I Love You”
“Love You to”.
Percakapan itu masih terekam jelas dalam ingatanku.

Entah tindakan bodoh macam apakah ini? Tanganku meraih sepeda dan kembali mengelilingi kampungku. Sepeda biruku terhenti lagi di taman kampung, taman itu terliihat beda dengan bertambahnya deretan taman bunga, namun yang lain tetap sama. Bangku taman yang berjajar seolah membeku  dan merengek berharap medapat selimut. Sungai yang semakin deras debit airnya setelah hujan. Kupaksa hatiku untuk tak menghiraukannya dan mulai lagi mengayuh sepedaku ku lewati lagi gardu pos ronda itu, masih sama seperti dulu. Bambu berjajar sebagi alas duduk, atap genting yang basah dan meneteskan sisa air hujan, sementara lampu 10 watt yang jadi penerang telah memancarkan sinarnya. Jalan kampung yang tetap seperti dulu, hanya saja perlu diperbaiki. Oh Tuhan...... bodohkan aku kembali mengingat semua ini? Mencoba membuka lagi ingatan ini? Tapi aku memiliki rasa benci yang lebih besar jika mengingatnya, saat ia menyakitiku.
*****
Hari ini, entah ada apa dia mengajakku bertemu di cafe langganan kita dulu.
 “Aku bisa sendiri !” aku menghempaskan tangannya dengan kasar ketika ia berusaha membersihkan ice cream di bibirku.
Ia terdiam, dan aku masih saja mengisap benda manis yang dari tadi tak bisa lepas dari gengamanku.
“Kita udah beda, gak sama, gak bisa seperti dulu lagi !”
Tatapan dinginnya masih memojokkanku dengan raut wajah yang menyebalkan.
“Kenapa ngajak ketemuan lagi?” tanyaku dengan ketus dan sinis.
“Belum cukup dengan yang kamu lakukan selama ini?”
Ia menatapku dengan tatapan memelas, aku menangkap sinyal kesalahan di matanya. Tapi aku tak peduli, rasa kasihanku telah habis untuknya. Aku benci menatapnya, pertemuan ini takkan terjadi jika tadi dia tak memohon-mohon seperti di  telfon tadi.
“Aku mau minta maaf” ucapnya dengan lugu dan penuh rayu. “Aku salah”
“Baru sadar sekarang? Kemarin kemana aja, Tolol !”
“Aku menyesal, aku menyesal, aku menyesal”
“Tiga kali ada kata menyesal”
“Aku menyesal”
“Empat kali”
“Kesha....” ia memanggilku lembut, aku tak bisa untuk tidak menatap matanya.
“Apa?”
“Maafin aku”
“Aku sudah maafin kamu, bahkan jauh sebelum kamu minta maaf”
“Sungguh?”
Aku mengangguk tanpa pikir panjang, berharap agar percakapan ini tak berjalan dengan lamban. Dan semoga wajah busuknya ini tak kutatap lebih lama lagi.
“Aku menyesal Kesha”
“Lima kali. Cukup! Aku bosan mendengar kata menyesal  jika kamu sendiri tak ingin mencoba untuk  berubah.”
“Aku harus berbuat apa agar kamu ikhlas memaafkanku?”
“Gak perlu, semuanya udah lewat!  Aku gak mau mengingat yang sudah lewat. Semuanya sampah!”
Nada bicaraku mendiamkan gerakan bibirnya, ia menatapku dengan rupa ingin dikasihani.
“Jangan menatapku dengan tatapan tolol seperti itu, rasa kasihanku sudah habis untukmu, bodoh!”
Ia tak banyak bicara, hanya terdiam dan mendengarkanku mengumpatnya dan memakinya. Tiba-tiba perasaan kesal itu muncul lagi, bayang-bayang pahit itu kembali berserakan. Aku tak bisa menahan diriku untuk tak memgingat kejadian di parkiran kampus itu. Aku terlalu benci mengingat bagaimana dia menyakitiku. Saat kudapati dia mencium seorang gadis di parkiran kampus. Aku ingin semuanya hilang seperti angin. Sungguh aku tak ingin mengingat caranya menghianatiku dan menyakitiku, tapi aku terlalu lemah.
Aku tak bisa menyangkal diri bahwa aku benar-benar mencintainya, dia sudah menjadi bagian dari nafasku selama beberapa tahun ini. Aku tak mungkin bisa melupkan seseorang yang telah mengisi hari-hariku dengan begitu cepat. Aku butuh waktu. Tapi semua diluar prediksiku, saat aku berusaha melupakannya, ia malah hadir. Berkata maaf, mengucapkan kata menyesal, dan segala kalimat yang mampu mencairkan hatiku yang sudah sangat beku.
Aku hanya bisa membohongi diriku sendiri. Memakinya, mencemoohnya, dan menghujaninya dengan kata-kata kasar, namun sebenarnya aku tersiksa. Aku tak bisa menyakiti orang yang kucinta, aku lelah terus-menerus menyangkal diri sendiri. Aku mencoba menyadarkan pikiranku yang sempat goyah, kembali meletakkan akal sehatku ke kenyataan yang ada. Aku tak mungkin menerimanya kembali, sekeras apapun dia meminta maaf padaku. Meskipun dia harus meradang, meronta, bahkan berlutut dihadapanku.
Setelah lama ku diamkan, dia menangis. Seluruh mata pengunjung cafe bergeser ke arah kami. Ini air mata pertamanya yang pernah kulihat, bertahun-tahun ia tak pernah menangis dihadapanku. Apakah ini juga bagian dari kebohongan?
“Sudahlah, Kevin. Aku bukan gadis tolol yang bisa kau permainkan lagi. Jauh-jauh dari pandanganku, jika perlu hilanglah dari muka bumi ini!”
“Aku akan menghilang tanpa kau minta Kesha”
“Baguslah, sadar diri.”
“Dan tidak akan pernah kembali”
“Itu lebih bagus, selamanya kalau perlu”
“Iya, selamanya”
Dia mengulang kata ’selamanya’ dengan tatapan yang bodoh dan matanya yang sembab. Aku tak ingin membuang waktuku.  Aku membayar ice cream dengan uangku sendiri,meninggalkan Kevin yang masih menggigil dengan perkataanku.
Mampus kau! Aku berseru dalam hati. Aku tertawa senang. Aku mampu dan berhasil menyakitinya. Aku tak menyesal berpisah dengannya. Oh Tuhan... jadi ini rasanya bahagia?
Sempurna!
*****
Tak ada lagi komunikasi dengan kevin. Aku tak pernah mau tau lagi kabarnya. Tentang segala aktivitas ataupun tentang kehidupannya. Telingaku tak ingin lagi mendengar namanya.
Aku menjalani hari-hari seperti biasa. Aku bahkan berprestasi dalam banyak hal, tak peduli masa lalu yang sempat membayangiku selama ini. Tapi, aku memang tak mampu menyangkal, wajah Kevin masih saja hadir dalam malam-malam sepi ketika aku sedang mendengar lagu favorit kita dulu. A Thousand Years,Christina Perri  selalu pandai membawakan lagu ini dengan suara mendayu-dayu dan membuatku larut dalam setiap lirik yang ia nyanyikan. Memang benar, sebuah lagu dapat melempar seseorang ke masa lalunya, dan aku selalu mengalami hal itu, lagi dan lagi.
Entah mengapa, hari-hariku terasa lebih sepi. Aku sering iri jika melihat teman-temanku berjalan dengan kekasihnya, dan aku hanya berjalan sendiri. Yeahhhh, belajar mandiri, dua kata itu yang membuatku bertahan hingga saat ini. Kevin, dulu ia adalah pria yang baik, namun setelah ia mengenal wanita jalang itu ia berubah drastis. Aku membencinya, dan sepertinya perasaanku kepadanya berangsur-angsur mulai hilang.
Siang ini, aku sudah bersiap-siap pergi ke kampus. Belum sempat membuka pintu kamar, ponselku berdering nyaring.
Aku menatap ke layar ponsel, nomer yang tidak dikenal. Sebenarnya aku tak ingin mengangkat panggilan tersebut, tapi entah mengapa, rasanya panggilan tersebut  sangat penting.
“Hallo...”
“Hallo,.. Kesha? “
Terdengar suara wanita yang rasa-rasanya akrab sekali di telinga.
“Ini Tante, Nak”
“Tante?”
“Ibunya Kevin”
Deg. Seketika itu juga aku lemas, aku sulit membuka suara. Aku berusaha keras untuk menahan emosiku dan perasaanku yang mulai tak stabil.
“Iya, kenapa Tante?”
“Mau nemenin Tante sebentar enggak?”
“Ke mana?”
“Ke suatu tempat, mungkin kamu suka?”
Aku terdiam agak lama, berpikir dengan keras. Namun suatu kata muncul tak terduga dari bibirku “Oke”.
*****
“Sebenernya Tante udah lama pengen ngajak kamu kesana”
Aku masih bingung dan linglung, tak mengerti arah tujuan. Di mobil aku hanya mengangguk-angguk pelan, tak mengerti dengan pembicaraannya yang ngalor-ngidul.
“Kita mau kemana Tante?”
“Nanti kamu juga tau sendiri.”
Jawaban itu sama sekali tidak membuat aku puas. Kami melewati padang ilalang dan padang rumput yang menghijau. Tanah yang terlihat cukup gersang, namun cuaca hari ini tidak terlalu panas. Beberapa menit kemudian, Ibu Kevin mengenakan kaca mata hitam dan kerudung hitam. Ia mengeluarkan kembang. Dan aku mulai bertanya-tanya ada apa sih sebenernya?
Mobil berhenti, dan rasa ingin tahuku semakin menjadi-jadi. Kami berjalan melewati tanah yang gersang tadi, dan sejauh mata memandang terlihat beberapa nisan yang nampak. Aku baru tahu ada pemakaman seindah ini.
Beliau menuntunku terus berjalan perlahan, menuju salah satu nisan. Aku tak memperhatikan dengan jelas tulisan di nisan itu, aku hanya menatap wajah wanita yang dari tadi genggamannya semakin erat terasa di jemariku.
Wanita itu sedikit berjongkok, aku pun ikut berjongkok.
“Sudah dua bulan Kesha”
Aku masih terdiam, masih belum ngeh dengan semuanya. Aku mulai mendengarkan, karena mungkin mendengarkan akan memberikanku jawaban.
“Dia pergi, sesuai permintaanmu.”
Dia siapa, aku masih belum mengerti. Aku masih menyimak perkataan wanita itu dengan santun dan tegas.
“Kevin sakit, dia selalu menyembunyikan penyakitnya darimu.”
Oh, jadi kevin sakit? Dirawat dimana dia sekarang?  Baguslah, mungkin itu karma untuknya karena telah menyakitiku.
“Kamu dan Kevin sudah pacaran berapa tahun?”
Duh, sialan. Mengungkit masa lalu. Masa lalu yang tak pernah ingin kuingat lagi. Sialan!
“Kevin tahu kamu sangat mencintainya, makanya ia tak ingin menyakitimu dengan kepergiannya.
Aku terdiam. Masih tak paham dengan semuanya.
“Ia menyewa wanita, dan merencanakan segalanya yang rumit, membuatnya seakan-akan terjadi secara tidak sengaja.”
Merencanakan?
“Kevin mencium wanita itu, dan kamu lewat didepan mobilnya. Momentum yang pas. Semua terjadi sesuai rencananya.”
Mataku tajam menyapu mata wanita itu. Matanya tak begitu terlihat, kaca mata hitam memburamkan matanya.
“Kevin sengaja menyakitimu agar kamu tak menyesal ketika ia pergi. Itulah wujud yang sebenarnya, bahwa ia tak ingin melihatmu terluka. Ia masih sangat mencintaimu.”
Omong kosong! Teriakku dalam hati.
“Dia baik sekali, Kesha. Dan kau tak menyadari bahwa pertemuan terakhir kalian adalah saat kau memakinya.”
Jutaan panah seperti melesat ke jantungku bersamaan. Aku tak bisa bernafas.
Aku menatap nisan itu. Ada namanya, pria yang selama ini menjungkirbalikan duniaku. Kevin.
“Perjuangannya memang tidak sia-sia. Kau tak terlihat terluka dan menyesal. Kevin berhasil menahan air matamu Kesha. Lihatlah kamu tidak menangis.”
Aku terdiam, tak bisa berkomentar banyak. Bibirku terlalu kelu. Aku tak menyangka Kevin berjuang begitu besar untukku.
Nafasku masih tercekik. Sekarang aku tau rasanya menangis.
Air mata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar