Hujan sore ini cukup deras sehingga
membuat suasana dan suhu di kampungku menjadi lebih sejuk bahkan bisa dikatakan
dingin. Kampungku masih sangat asri, masih banyak pepohoan hijau yang rindang,
tak seperti gambaran kota yang sering kulihat di berita TV, dimana ada banjir,
tumpukan sampah, dan jarang sekali ditemukan pohon. Hujan kali ini turun
disenja hari, membuat kampungku bisu dan hening dari segala aktivitas warga
yang biasanya terjadi. Ku pandang sekelilingku tampak jelas pepohonan sedang
menari-nari setelah menikmati derai hujan, rerumputan bersorak gembira untuk
sisa –sisa hujan, sementra burung-burung hilir mudik untuk kembali kesarangnya
sebab malam akan segera tiba.
Suasana senja ini mengingatkanku pada
seorang yang pernah menjadi bagian terpeting dalam hari-hariku, Kevin. Ya... Kevin,
masih teringat jelas saat pertama kali dia datang ke kampungku ini.
“Aku suka
suasana kampungmu, kenapa tak dari dulu kau ajak aku kesini?”
Aku selalu
ingat kalimat itu.
“Kamu
selalu bisa memberikan susana baru dalam setiap hariku”
“Iya
sayang,Love you”
Dia begitu menikmati suasana ramah
dari kampungku. Aku pernah mengajaknya
berkeliling kampungku. Dia sangat terkesan dengan taman yang ada di kampungku.
Kebetulan dulu dikampungku sengaja dibangun taman yang sampai sekarang masih dijaga kebersihannya
dan keindahannya. Waktu itu kami sangat menikmati suasana sekeliling taman kampung
, tepat di sebelah taman kampungku terdapat sungai kecil yang menjadi tanda
perbatasan dengan kampung sebelah. Sore itu hujan juga turun dengan perlahan
menambah indah suasana kampungku.
“ Aku sangat menyayangimu, aku tak tau apa
nanti jadinya aku tanpamu”
“Jangan takut sayang, kamu tak kan pernah
kehilangan aku”
“dingin”
desahnya pelan
“Masihkan
dingin?” kupeluk tubuhnya lebih erat
“Tak
sedingin tadi, I Love You”
“Love You
to”.
Percakapan
itu masih terekam jelas dalam ingatanku.
Entah tindakan bodoh macam apakah ini?
Tanganku meraih sepeda dan kembali mengelilingi kampungku. Sepeda biruku
terhenti lagi di taman kampung, taman itu terliihat beda dengan bertambahnya
deretan taman bunga, namun yang lain tetap sama. Bangku taman yang berjajar
seolah membeku dan merengek berharap
medapat selimut. Sungai yang semakin deras debit airnya setelah hujan. Kupaksa
hatiku untuk tak menghiraukannya dan mulai lagi mengayuh sepedaku ku lewati
lagi gardu pos ronda itu, masih sama seperti dulu. Bambu berjajar sebagi alas
duduk, atap genting yang basah dan meneteskan sisa air hujan, sementara lampu
10 watt yang jadi penerang telah memancarkan sinarnya. Jalan kampung yang tetap
seperti dulu, hanya saja perlu diperbaiki. Oh Tuhan...... bodohkan aku kembali
mengingat semua ini? Mencoba membuka lagi ingatan ini? Tapi aku memiliki rasa
benci yang lebih besar jika mengingatnya, saat ia menyakitiku.
*****
Hari ini,
entah ada apa dia mengajakku bertemu di cafe langganan kita dulu.
“Aku bisa sendiri !” aku menghempaskan
tangannya dengan kasar ketika ia berusaha membersihkan ice cream di bibirku.
Ia
terdiam, dan aku masih saja mengisap benda manis yang dari tadi tak bisa lepas
dari gengamanku.
“Kita udah
beda, gak sama, gak bisa seperti dulu lagi !”
Tatapan
dinginnya masih memojokkanku dengan raut wajah yang menyebalkan.
“Kenapa
ngajak ketemuan lagi?” tanyaku dengan ketus dan sinis.
“Belum
cukup dengan yang kamu lakukan selama ini?”
Ia
menatapku dengan tatapan memelas, aku menangkap sinyal kesalahan di matanya.
Tapi aku tak peduli, rasa kasihanku telah habis untuknya. Aku benci menatapnya,
pertemuan ini takkan terjadi jika tadi dia tak memohon-mohon seperti di telfon tadi.
“Aku mau
minta maaf” ucapnya dengan lugu dan penuh rayu. “Aku salah”
“Baru
sadar sekarang? Kemarin kemana aja, Tolol !”
“Aku
menyesal, aku menyesal, aku menyesal”
“Tiga kali
ada kata menyesal”
“Aku
menyesal”
“Empat
kali”
“Kesha....”
ia memanggilku lembut, aku tak bisa untuk tidak menatap matanya.
“Apa?”
“Maafin
aku”
“Aku sudah
maafin kamu, bahkan jauh sebelum kamu minta maaf”
“Sungguh?”
Aku
mengangguk tanpa pikir panjang, berharap agar percakapan ini tak berjalan dengan
lamban. Dan semoga wajah busuknya ini tak kutatap lebih lama lagi.
“Aku
menyesal Kesha”
“Lima
kali. Cukup! Aku bosan mendengar kata menyesal
jika kamu sendiri tak ingin mencoba untuk berubah.”
“Aku harus
berbuat apa agar kamu ikhlas memaafkanku?”
“Gak
perlu, semuanya udah lewat! Aku gak mau
mengingat yang sudah lewat. Semuanya sampah!”
Nada
bicaraku mendiamkan gerakan bibirnya, ia menatapku dengan rupa ingin
dikasihani.
“Jangan
menatapku dengan tatapan tolol seperti itu, rasa kasihanku sudah habis untukmu,
bodoh!”
Ia tak
banyak bicara, hanya terdiam dan mendengarkanku mengumpatnya dan memakinya.
Tiba-tiba perasaan kesal itu muncul lagi, bayang-bayang pahit itu kembali
berserakan. Aku tak bisa menahan diriku untuk tak memgingat kejadian di parkiran
kampus itu. Aku terlalu benci mengingat bagaimana dia menyakitiku. Saat
kudapati dia mencium seorang gadis di parkiran kampus. Aku ingin semuanya
hilang seperti angin. Sungguh aku tak ingin mengingat caranya menghianatiku dan
menyakitiku, tapi aku terlalu lemah.
Aku tak
bisa menyangkal diri bahwa aku benar-benar mencintainya, dia sudah menjadi
bagian dari nafasku selama beberapa tahun ini. Aku tak mungkin bisa melupkan seseorang
yang telah mengisi hari-hariku dengan begitu cepat. Aku butuh waktu. Tapi semua
diluar prediksiku, saat aku berusaha melupakannya, ia malah hadir. Berkata
maaf, mengucapkan kata menyesal, dan segala kalimat yang mampu mencairkan
hatiku yang sudah sangat beku.
Aku hanya
bisa membohongi diriku sendiri. Memakinya, mencemoohnya, dan menghujaninya
dengan kata-kata kasar, namun sebenarnya aku tersiksa. Aku tak bisa menyakiti
orang yang kucinta, aku lelah terus-menerus menyangkal diri sendiri. Aku
mencoba menyadarkan pikiranku yang sempat goyah, kembali meletakkan akal
sehatku ke kenyataan yang ada. Aku tak mungkin menerimanya kembali, sekeras
apapun dia meminta maaf padaku. Meskipun dia harus meradang, meronta, bahkan
berlutut dihadapanku.
Setelah
lama ku diamkan, dia menangis. Seluruh mata pengunjung cafe bergeser ke arah
kami. Ini air mata pertamanya yang pernah kulihat, bertahun-tahun ia tak pernah
menangis dihadapanku. Apakah ini juga bagian dari kebohongan?
“Sudahlah,
Kevin. Aku bukan gadis tolol yang bisa kau permainkan lagi. Jauh-jauh dari pandanganku,
jika perlu hilanglah dari muka bumi ini!”
“Aku akan
menghilang tanpa kau minta Kesha”
“Baguslah,
sadar diri.”
“Dan tidak
akan pernah kembali”
“Itu lebih
bagus, selamanya kalau perlu”
“Iya,
selamanya”
Dia
mengulang kata ’selamanya’ dengan tatapan yang bodoh dan matanya yang sembab.
Aku tak ingin membuang waktuku. Aku
membayar ice cream dengan uangku sendiri,meninggalkan Kevin yang masih
menggigil dengan perkataanku.
Mampus
kau! Aku berseru dalam hati. Aku tertawa senang. Aku mampu dan berhasil menyakitinya.
Aku tak menyesal berpisah dengannya. Oh Tuhan... jadi ini rasanya bahagia?
Sempurna!
*****
Tak ada
lagi komunikasi dengan kevin. Aku tak pernah mau tau lagi kabarnya. Tentang
segala aktivitas ataupun tentang kehidupannya. Telingaku tak ingin lagi
mendengar namanya.
Aku
menjalani hari-hari seperti biasa. Aku bahkan berprestasi dalam banyak hal, tak
peduli masa lalu yang sempat membayangiku selama ini. Tapi, aku memang tak
mampu menyangkal, wajah Kevin masih saja hadir dalam malam-malam sepi ketika
aku sedang mendengar lagu favorit kita dulu. A Thousand Years,Christina Perri
selalu pandai membawakan lagu ini dengan suara mendayu-dayu dan
membuatku larut dalam setiap lirik yang ia nyanyikan. Memang benar, sebuah lagu
dapat melempar seseorang ke masa lalunya, dan aku selalu mengalami hal itu,
lagi dan lagi.
Entah
mengapa, hari-hariku terasa lebih sepi. Aku sering iri jika melihat
teman-temanku berjalan dengan kekasihnya, dan aku hanya berjalan sendiri.
Yeahhhh, belajar mandiri, dua kata itu yang membuatku bertahan hingga saat ini.
Kevin, dulu ia adalah pria yang baik, namun setelah ia mengenal wanita jalang
itu ia berubah drastis. Aku membencinya, dan sepertinya perasaanku kepadanya
berangsur-angsur mulai hilang.
Siang ini,
aku sudah bersiap-siap pergi ke kampus. Belum sempat membuka pintu kamar,
ponselku berdering nyaring.
Aku
menatap ke layar ponsel, nomer yang tidak dikenal. Sebenarnya aku tak ingin mengangkat
panggilan tersebut, tapi entah mengapa, rasanya panggilan tersebut sangat penting.
“Hallo...”
“Hallo,..
Kesha? “
Terdengar
suara wanita yang rasa-rasanya akrab sekali di telinga.
“Ini
Tante, Nak”
“Tante?”
“Ibunya
Kevin”
Deg.
Seketika itu juga aku lemas, aku sulit membuka suara. Aku berusaha keras untuk
menahan emosiku dan perasaanku yang mulai tak stabil.
“Iya,
kenapa Tante?”
“Mau
nemenin Tante sebentar enggak?”
“Ke mana?”
“Ke suatu tempat, mungkin kamu suka?”
“Ke suatu tempat, mungkin kamu suka?”
Aku terdiam
agak lama, berpikir dengan keras. Namun suatu kata muncul tak terduga dari
bibirku “Oke”.
*****
“Sebenernya
Tante udah lama pengen ngajak kamu kesana”
Aku masih
bingung dan linglung, tak mengerti arah tujuan. Di mobil aku hanya
mengangguk-angguk pelan, tak mengerti dengan pembicaraannya yang ngalor-ngidul.
“Kita mau kemana
Tante?”
“Nanti
kamu juga tau sendiri.”
Jawaban
itu sama sekali tidak membuat aku puas. Kami melewati padang ilalang dan padang
rumput yang menghijau. Tanah yang terlihat cukup gersang, namun cuaca hari ini
tidak terlalu panas. Beberapa menit kemudian, Ibu Kevin mengenakan kaca mata
hitam dan kerudung hitam. Ia mengeluarkan kembang. Dan aku mulai bertanya-tanya
ada apa sih sebenernya?
Mobil berhenti,
dan rasa ingin tahuku semakin menjadi-jadi. Kami berjalan melewati tanah yang
gersang tadi, dan sejauh mata memandang terlihat beberapa nisan yang nampak.
Aku baru tahu ada pemakaman seindah ini.
Beliau
menuntunku terus berjalan perlahan, menuju salah satu nisan. Aku tak
memperhatikan dengan jelas tulisan di nisan itu, aku hanya menatap wajah wanita
yang dari tadi genggamannya semakin erat terasa di jemariku.
Wanita itu
sedikit berjongkok, aku pun ikut berjongkok.
“Sudah dua
bulan Kesha”
Aku masih
terdiam, masih belum ngeh dengan
semuanya. Aku mulai mendengarkan, karena mungkin mendengarkan akan memberikanku
jawaban.
“Dia
pergi, sesuai permintaanmu.”
Dia siapa,
aku masih belum mengerti. Aku masih menyimak perkataan wanita itu dengan santun
dan tegas.
“Kevin
sakit, dia selalu menyembunyikan penyakitnya darimu.”
Oh, jadi
kevin sakit? Dirawat dimana dia sekarang?
Baguslah, mungkin itu karma untuknya karena telah menyakitiku.
“Kamu dan
Kevin sudah pacaran berapa tahun?”
Duh,
sialan. Mengungkit masa lalu. Masa lalu yang tak pernah ingin kuingat lagi.
Sialan!
“Kevin
tahu kamu sangat mencintainya, makanya ia tak ingin menyakitimu dengan
kepergiannya.
Aku
terdiam. Masih tak paham dengan semuanya.
“Ia
menyewa wanita, dan merencanakan segalanya yang rumit, membuatnya seakan-akan
terjadi secara tidak sengaja.”
Merencanakan?
“Kevin
mencium wanita itu, dan kamu lewat didepan mobilnya. Momentum yang pas. Semua
terjadi sesuai rencananya.”
Mataku
tajam menyapu mata wanita itu. Matanya tak begitu terlihat, kaca mata hitam
memburamkan matanya.
“Kevin
sengaja menyakitimu agar kamu tak menyesal ketika ia pergi. Itulah wujud yang
sebenarnya, bahwa ia tak ingin melihatmu terluka. Ia masih sangat mencintaimu.”
Omong
kosong! Teriakku dalam hati.
“Dia baik
sekali, Kesha. Dan kau tak menyadari bahwa pertemuan terakhir kalian adalah
saat kau memakinya.”
Jutaan
panah seperti melesat ke jantungku bersamaan. Aku tak bisa bernafas.
Aku menatap
nisan itu. Ada namanya, pria yang selama ini menjungkirbalikan duniaku. Kevin.
“Perjuangannya
memang tidak sia-sia. Kau tak terlihat terluka dan menyesal. Kevin berhasil
menahan air matamu Kesha. Lihatlah kamu tidak menangis.”
Aku
terdiam, tak bisa berkomentar banyak. Bibirku terlalu kelu. Aku tak menyangka
Kevin berjuang begitu besar untukku.
Nafasku
masih tercekik. Sekarang aku tau rasanya menangis.
Air mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar